2018/12/12

Perpanjang Paspor di Mal Pelayanan Publik Jakarta 2018

Bulan Desember 2018 ini, paspor saya akan habis masa berlakunya. Kali ini saya ingin mencoba memperpanjang di Mal Pelayanan Publik (MPP) yang lokasinya di Rasuna Said, kawasan Epicentrum di belakang hotel JS Luwansa, samping Gedung Nyi Ageng Serang.

Layanan di Mal Pelayanan Publik Jakarta


Langkah-langkah yang harus dilakukan:

1. ANTRIAN PASPOR
Pertama-tama saya harus dapat nomor antrian dulu. Nomor dapat diperoleh dengan menginstal aplikasi Antrian Paspor di Play Store (android) atau bisa juga melalui website https://antrian.imigrasi.go.id/.  Kuota antrian dibuka per minggu, ada yang bilang dibuka tiap jum'at, lainnya bilang tiap hari minggu. Yang jelas saya akhirnya mendapat nomor antrian pada hari Minggu Sore untuk hari Senin seminggu berikutnya. Ada 2 slot waktu yang bisa dipilih. Pagi jam 08.00 - 12.00 dan Siang 14.00 - 15.00. Saya memilih siang. Butuh perjuangan untuk mendapatkan kuota antrian, tapi anda jangan putus asa, coba lagi dan lagi.

Website Antrian Paspor
Aplikasi Antrian Paspor


  • Saya memilih instal aplikasi di HP. Kita harus membuat akun dahulu, dengan mengisi data User Name, Password, NIK (nomor e-KTP), Nomor telepon, email dan alamat sesuai KTP. 
  • Jika sudah terdaftar pada sistem, masuk ke halaman login.
  • Pilih kantor imigrasi tempat perpanjangan paspor. Saya memilih Mal Pelayanan Publik Jakarta.
  • Sistem akan memberitahu jika kuota habis atau menampilkan pilihan tanggal jika masih tersedia. Pilih tanggal yg sudah dibuka kuotanya, lalu pilih waktunya pagi atau siang. Jika sudah berhasil maka akan mendapatkan notifikasi email, tapi saya tidak mendapat email. Saya cek pada Tab Jadwal, ada file PDF bukti pendaftaran yang harus kita cetak untuk dibawa saat pembuatan paspor. 
  • Untuk perpanjangan paspor tanpa ada perubahan data, siapkan foto copy e-KTP dan halaman paspor lama yang berisi data kita di kertas ukuran A4 utuh (tidak dipotong).
Jadwal & Bukti pendaftaran


2. PEMBUATAN PASPOR
Datang sesuai jadwal yang di pilih ke MPP. Ini kali pertama saya masuk MPP. Bagus sekali tempatnya, benar seperti mal, boleh dibilang mewah. Saya sampai jam 13.20. Mungkin melihat saya kebingungan, mas yg jaga di Information, mendekati saya menanyakan keperluan saya. Saya bilang mau perpanjang paspor, lalu saya diantar mengambil nomor antrian Imigrasi yg letak mesinnya di samping kanan pintu masuk. Lalu saya diminta naik lift ke lantai 3, di mana counter layanan paspor berada. Di lantai 3 ini terdapat berbagai instansi sekaligus, ada kepolisian, BPJS, Dukcapil dan sebagainya, one stop service-lah. Kantor bersih, dingin, di atas meja tersedia monitor segedhe TV. Tempat duduk warna abu-abu & orange tersebar untuk menunggu giliran. Saya lihat ada 2 orang yang sedang menunggu. 

Mal Pelayanan Publik Jakarta

Walau belum jam 14.00 ternyata nomor saya langsung dipanggil. Petugas meminta bukti pendaftaran, KTP asli & foto copy, paspor lama dan copynya. Lalu dicocokan sebentar, saya diminta menunggu panggilan untuk foto & pengambilan sidik jari. Ternyata 2 orang tadi sedang menunggu giliran foto. Tidak lama kemudian saya dipanggil untuk foto. Sebelum difoto ditanya mau kemana. 

Selesai foto dan pengambilan sidik jari, saya diberi bukti pembayaran, di baliknya ada petunjuk pembayarannya. Kita bisa membayar melalui teller Bank DKI yang ada di Lantai 2 atau melalui ATM BCA, BNI, BRI, Mandiri. Pilih menu pembayaran - MPN/Pajak - Penerimaan Negara lalu masukkan kode bukti pembayaran dari imigrasi yang tertera di lembar yg diberikan petugas imigrasi. Keseluruhan proses mulai datang sampai selesai termasuk waktu tunggu giliran foto, HANYA memakan waktu 20 menit saja.....keren yah..... Saya diminta untuk membayar hari itu juga dan datang mengambil paspor 5 hari kerja berikutnya jam 9.00 -15.00.



3. PENGAMBILAN PASPOR
Kamis malam (H+3), saya iseng cek status paspor saya melalui Whatsapps. Saya WA melalui website jadi tidak perlu menyimpan nomor telponnya (6281381710123). Begini caranya ketik di browser https://api.whatapp.com/send?phone=6281381710123. Lalu kirim nomor Permohonan imigrasi 1041000000xxxxx, maka akan langsung mendapatkan balasan statusnya. Ternyata paspor saya sudah jadi. Saya putuskan besoknya hari jumat untuk mengambil paspor saat jam makan siang. 

Saya sampai di MPP jam 11.40 ternyata counter sudah tutup istirahat sholat jumat dan baru buka lagi jam 13.00. Saya tinggal makan siang dulu dan kembali beberapa menit sebelum jam 13.00. Tepat jam 13.00 counter baru dibuka. Ternyata pengambilan paspor tidak memerlukan nomor antrian, langsung saja ke loket (ruangan kaca di samping counter). Saya menyerahkan bukti pembayaran, tak lama kemudian paspor baru & lama diberikan. Kita diminta untuk menulis nama, nomor paspor baru & lama serta tanda-tangan di buku sebagai tanda terima. Proses tidak sampai 5 menit. Nomor antrian yang sudah saya ambil, saya berikan ke orang yang sedang menunggu giliran. Saya balik ke kantor. 

Selesailah seluruh proses perpanjangan paspor. Sangat cepat dan mudah, semuanya transparan. Angkat jempol untuk Imigrasi. Bravo!



2018/01/29

Sabtu Seru Jelajah Tangerang Heritage

Trip kali ini gak jauh-jauh dari Jakarta, Tangerang di kota sebelah tapi sudah beda Provinsi. Saya bergabung dengan trip yang diadakan seorang teman, kali ini jadi peserta, tinggal bayar dan ngikut. Peserta trip kali ini 30an orang, cukup banyak, beberapa sudah saya kenal dari day trip sebelumnya (belum sempat ditulis ;p), jadi nambah teman-teman baru.

Meeting point di stasiun KA Tangerang jam 8 pagi. Grup WA dibuat, memudahkan komunikasi sehingga peserta walau ada yg belum kenal, bisa janjian jalan bareng. Jadilah beberapa kelompok grup stasiun Tebet, stasiun Kemayoran, Depok atau langsung. Saya gabung dengan grup stasiun Tebet.

Dari Stasiun Tebet, naik KA jurusan Bogor - Jatinegara turun di Stasiun Duri, lalu ganti kereta Duri - Tangerang, ongkosnya hanya rp.4 ribu saja.

Dengan menggunakan angkot, rombongan kami menuju ke Warung Encim Sukaria yang menyajikan pilihan sarapan nasi uduk, nasi ulam dan lontong sayur. Warung ini buka tiap hari kecuali hari Senin dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang saja.

Selesai sarapan, dengan angkot yang sama kami menuju Kampung Berkelir Tangerang. Berlokasi tak jauh dari Sungai Cisadane, RW 01, Kelurahan Babakan dengan pintu masuk dari jalan Perintis Kemerdekaan, Tangerang. Bertransformasi dari kampung berstatus kumuh sedang berubah menjadi kampung wisata warna-warni pernuh dengan mural. 

Sebelum keliling ke Kampung Berkeling, kami foto-foto dulu di ikon Kampung Berkelir yang di bawahnya ada lukisan 3 dimensi di tepi sungai Cisadane.

Ikon Kampung Berkelir
Mural 3D

Mural 3D

Mural atau grafiti Kampung Berkelir bertemakan kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya masyarakat di Kota Tangerang, seperti misalnya lenggang Cisadane bahkan ada naga dan barongsay. Selain mural, juga terpasang 10 pesan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) sebagai pengingat untuk masyarakat setempat. Pohon dan bunga ditanam menghiasi sepanjang jalan kampung, baik di pot maupun di gantung. Mengunjungi kampung ini tidak dipungut biaya.

Memasuki Kampung Berkelir
Lenggang Cisadane

Wajah-wajah di Kampung Berkelir

Barongsay & Naga

Stasiun KA & Bandarapun eksis
10 pesan PHBS
Dari Kampung Berkelir, lanjut dengan angkot menuju Museum Benteng Heritage, hanya sekitar 1 KM saja. Kami turun di tepi sungai Cisadane di depan gang kecil, melewati Roeboer Tangga Ronggeng yang nantinya akan kami kunjungi juga, lanjut berjalan kaki karena lokasi Museum berada di tengah Pasar Lama Tangerang.

Museum Benteng Heritage
Museum Benteng Heritage adalah museum peranakan Tionghoa pertama dan satu-satunya di Indonesia, diresmikan pada tgl. 11-11-2011 pkl. 20:11. Museum terletak di Jalan Cilame No.20, Pasar Lama, Tangerang yang juga adalah Zero Point nya Kota Tangerang karena disinilah cikal bakal pusat Kota Tangerang, yang dulunya disebut kota Benteng.

Bangunan museum dibangun sekitar abad ke 17, dimiliki komunitas kaum Tionghoa. Di abad ke-19 bangunan ini dibeli keluarga marga Lua dan dibagi 3 untuk diwariskan kepada 3 anaknya kala itu. Bp Udaya Halim yang merupakan pendiri Museum Benteng Heritage melakukan restorasi untuk melestarikan bangunan yang kaya akan sejarah ini dengan membeli 2 rumah dari 3 rumah tersebut karena 1 rumah lagi tidak dijual oleh pemiliknya.

Koleksi di Museum Benteng Heritage berasal dari koleksi pribadi, sumbangan dari warga sekitar Tangerang, kolektor benda kuno dan pemerhati budaya Tionghoa peranakan di Indonesia. Berbagai artefak yang menjadi saksi bisu kehidupan masa lalu, mulai dari kedatangan armada Cheng Ho dengan rombongan yang terdiri dari sekitar 300 kapal kayu besar dan kecil yang membawa hampir 30.000 pengikutnya. Sebagian dari rombongan tersebut dipimpin oleh Chen Ci Lung, diyakini sebagai nenek moyang penduduk Tionghoa Tangerang (Cina Benteng) yang mendarat di Teluk Naga pada tahun 1407.

Jam operasional Museum dari hari Selasa - Minggu mulai jam 10.00 - 17.00 dengan  dipandu oleh guide yang berlangsung sekitar 45 menit dengan jumlah setiap rombongan dibatasi s/d 20 peserta. Rombongan kami mengambil paket termasuk makan siang. Kami beruntung hari itu dipandu oleh Bp Udaya sendiri. Sejarah Peranakan Tionghoa Tangerang (Cina Benteng) dan Museum diceritakannya sebelum makan siang disajikan. Setelah makan siang baru diantar keliling Museum yang ada di lantai 2. Ada 2 tangga menuju ke lantai 2, yang curam  dengan kemiringan 45 derajat & satu lagi landai, kita harus melepas alas kaki, meninggalkan tas di lantai bawah dan tidak boleh memotret.

Tata Tertib Pengunjung


Ruang Tunggu Museum

Loket 
Sungai Cisadane dahulu berperan besar dalam transportasi air dan perdagangan di Tangerang. Hal ini tergambar pada salah satu lukisan yang ada di Museum.

Transportasi Sungai Cisadane Tempo Dulu

Bendungan Pintu Air Sepuluh Tempo Dulu
Ruang Makan Museum

Ornamen Ruang Makan

Ornamen Ruang Makan

Menu Makan Siang

Selesai makan siang, kami dipersilahkan naik ke lantai 2. Antara lantai 1 dan tantai 2 tidak sepenuhnya tertutup, kita bisa menemukan relief ukiran dihiasi pecahan keramik yang mengisahkan tentang Jenderal Kwang Kong bagian dari cerita legenda Sam Kok.

Relief legenda Sam Kok (sumber BBC Indonesia)
Tur di lantai 2 dimulai dengan pemutaran video sejarah pembuatan kecap Benteng yang masih tradisional dan terkenal di Tangerang sampai sekarang. Kecap ini juga dijual di toko Museum. Contoh botol-botol kecap dapat kita lihat di salah satu sudut lantai 2.

Koleksi Botol Kecap Benteng

Terdapat koleksi sempoa/sipoa, alat kuno untuk berhitung yang dibuat dari rangka kayu dengan sederetan poros berisi manik-manik yang bisa digeser-geserkan dengan fungsi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian dan akar kuadrat dari ukuran kecil sampai panjang.

Koleksi pedupaan dan perlengkapannya, patung-patung dewa, telepon, timbangan, mesin tik dan surat, buku-buku cerita, prangko-prangko pertama yang digunakan di Indonesia.
Di salah satu meja dipajang berbagai timbangan candu dan alat hisapnya dari berbagai negara.

Timbangan Candu (sumber BBC Indonesia)
Kami diberi tantangan untuk membuka pintu kayu menuju balkon, pintu anti pencuri walau tanpa kunci seperti jaman sekarang. Cara menutupnya hanya dengan menggeser kayu-kayu yang melintang, sangat mudah. Tapi membukanya tidak semudah itu, jika tidak mengetahui rahasia teknik pengunciannya yang hanya diketahui oleh anggota keluarga saja. Untuk membukanya harus dari dalam, sehingga rumah tidak boleh ditinggal kosong.

Setelah beberapa orang mencoba tanpa hasil, lalu dijelaskan cara membukanya oleh pak Udaya. Terdapat tombol rahasia yang terselip dekat palang pintu bagian bawah. Dengan menekan tombol tersebut maka akan membuka kuncian yang ada di dalam kayu penahan, lakukan sambil mendorong palang kayu, maka penghalang pintu dapat dibuka.

Pintu juga diberi pembatas setinggi kira-kira 20 cm dari lantai. Fungsi pembatas ini selain untuk membantu menjaga keseimbangan jalan perempuan yang biasanya memakai gaun panjang agar tidak jatuh tersandung sehingga mereka akan mengangkat sedikit bagian bawah baju juga untuk memberi hormat ke patung dewa dan meja pedupaan yang ada di depan pintu masuk. Sedangkan pada saat ke luar, dimaksudkan agar orang bersikap awas terhadap sekelilingnya sebelum ke luar.

Berfoto dengan pak Udaya di Lantai 2

Berpindah ke ruangan sebelahnya, kita bisa melihat koleksi sepatu perempuan dari anak-anak sampai dewasa, terkait dengan budaya ikat kaki. Jaman dahulu makin kecil kaki seorang perempuan dianggap makin cantik, tapi budaya ini dihapuskan karena dianggap sebagai salah satu bentuk penyiksaan.

Koleksi Sepatu Tradisional (sumber BBC Indonesia)
Dapat dilihat juga contoh corak-corak batik pesisir yang juga dipengaruhi budaya Tionghoa. Di Lasem dikenal dengan corak batik 3 negri, yaitu Eropa diwakili warna biru, China diwakili warna merah dan Coklat (sogan) warna khas batik jawa Solo dan Jogja.
Koleksi lainnya berupa koin, cangkul, topi tani, pakaian adat, ranjang, bantal, kloset, koper, meja mahyong yang jika ditarik sudut-sudutnya tersedia tempat menaruh makanan dan minuman sehingga mereka tidak perlu meninggalkan permainan ;p

Kami juga diputarkan video prosesi adat pernikahan Tionghoa Peranakan yang berlangsung selama 3 hari yang kebetulan diselenggarakan di Museum.

Selanjutnya kami diajak ke galeri koleksi kamera dan gramafon tua, serta piringan hitam langka. Menurut penjelasan pak Udaya, kerasnya suara yang dihasilkan gramofon tergantung dari besarnya jarum pemutar. Kami diperdengarkan lagu anak-anak Naik Delman karya pak Kasur. Dari ruang ini, kami menuruni tangga menuju toko Museum. Tersedia dari mulai kaos, kecap Benteng, teh, dodol, pembatas buku dan lainnya.

Setelah menyelesaikan pembayaran pembelian dari toko, kami dipinjami topi anyam dari bambu/pandan khas Tangerang yang dahulu sangat hits dan mendunia. Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Pos Jalan Daendels mencatat tentang produk topi Tangerang ini sangat digemari di Eropa untuk semua kalangan. Bahkan menjadi tren mode di Paris, Perancis! Jutaan topi Tangerang diekspor ke Eropa setiap tahun pada masa jayanya! Pada tahun 1887 saja, Tangerang telah mengekspor topi 145 juta, terutama ke Perancis.  

Catatan serupa juga ditulis oleh wartawan Tionghoa Peranakan Oey Hok Tjay yang asli Tangerang. Menurutnya, topi buatan Tangerang ini dikerjakan para wanita yang sangat digemari di Asia Tenggara hingga Eropa. Sayangnya topi ini sudah tergusur dan sulit diperoleh, sehingga Museum terpaksa memesannya dari Jogja.

Pengrajin Topi Tangerang (Sumber Kompas)

Dengan memakai topi Tangerang itu, kami mengikuti Heritage Walk, dimulai dari Kelenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama, merupakan kelenteng tertua di Tangerang yang diperkirakan sudah berumur 300 tahun. 

Di halaman Kelenteng Boen Tek Bio

Kelenteng Boen Tek Bio

Kelenteng Boen Tek Bio
Dari klenteng perjalanan berlanjut, kami melewati bekas rumah wartawan. Pada 2 pilar penyangga masih bisa terlihat ornamen cantiknya walau sudah pudar.

Bekas Rumah Jurnalis 
 
Rumah warna hijau milik Oey Kim Tiang (OKT), penerjemah/penulis cerita silat yang paling produktif di Indonesia, berada berseberangan dengan Roemboer Tangga Ronggeng. OKT lahir  1903 dalam keluarga peranakan Tionghoa yang telah 6 generasi tinggal di Tangerang dan meninggal tahun 1995. Selama hidupnya, almarhum telah menterjemahkan lebih dari 100 karya terjemahan dari dialek Hokkian ke dalam bahasa Melayoe Pasar atau Melayoe Rendah. Salah satu karyanya adalah Memanah Burung Rajawali yang juga dibuat film seri TV maupun versi bioskopnya.

Rumah OKT
Roemah Boeroeng Tangga Ronggeng
Menurut pemandu kami, rumah ini bekas milik penjahit kebaya encim, pernah juga menjadi sarang burung walet sehingga disebut Rumah Burung. Kenapa Tangga Ronggeng? Jaman dahulu di sungai Cisadane terdapat tangga turun tempat mandi para penari ronggeng yang bisa dilihat dari lantai 3 bangunan yang saat ini difungsikan sebagai restoran tapi harus dengan pemesanan sebelumnya.

Pintu Roemboer Tangga Ronggeng
Pada lantai 1, terdapat perabot tua dan foto-foto hitam putih Peranakan Tangerang Tempo Doeloe.
Roemboer Lantai 1
Lantai 2 Roemboer berisi koleksi yang berhubungan dengan film, televisi dan beberapa lukisan yang menggambarkan kehidupan masyarakat Tangerang tempo dulu.

Koleksi Roemboer Lantai 2
Menaiki lantai 3, kita memasuki area restoran, dengan balkon dan jendela yang mengarah ke sungai Cisadane.

Roemboer lantai 3

Dari Roemboer, kami dibawa menyusuri sungai Cisadane menuju dermaga tempat bermulanya Festival Perahu Naga atau Festival Peh Cun (berarti mendayung perahu). Festival ini dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek dan telah berumur lebih 2300 tahun dihitung dari masa Dinasti Zhou. Makan bakcang adalah salah satu bentuk kegiatan dalam perayaan tersebut.

Dermaga ini dahulunya terkenal dengan sebutan Tangga Jamban, tempat di mana masyarakat Tangerang buang hajat di kali. Lalu berubah menjadi dermaga, dilengkapi dengan Toa pe kong Dewa Air.

Dermaga Tangga Jamban

Di seberang Dermaga terdapat Masjid Jami Kalipasir dari tahun 1700an. Menara masjid ini berbentuk Pagoda, bukti adanya pengaruh budaya China di masa lalu.


Menara Masjid Kalipasir
Melalui gang kecil di samping masjid, kami kembali menuju Museum. Sebelum pulang menyempatkan belanja otak-otak, asinan buah, dodol di Pasar Lama dan ngopi di Rumah Kopi Gouw yang menyediakan berbagai kopi dari Aceh sampai Papua.

Dari Museum Benteng Heritage kami berjalan kaki menuju Stasiun KA Tangerang, ternyata tidak jauh hanya sekitar 10-15 menit jalan kaki saja, tinggal lurus lalu belok kanan.... sampai deh....


2018/01/09

Central Vietnam Trip 2017 - Da Nang Day 2

Setelah bangun pagi, mandi saya keluar kamar untuk mengisi air dari galon yang tersedia di dekat pintu masuk. Selama di Hue dan Da Nang, kami tidak lagi membeli air minum, karena tersedia di tempat menginap, tinggal mengisi botol saja. Di sofa saya lihat pengurus hostel masih bergelung tidur. Dia terbangun, lalu saya tanyakan sarapan. 15 menit katanya sambil bergegas ke dapur. Sayapun kembali ke kamar.

Seperti yang sudah-sudah sarapan berupa roti perancis, baguette dan telur mata sapi, dihiasi irisan tomat, timun dan selada, hanya saja kali ini tampilannya paling cantik, padahal yang memasak laki-laki. Kami juga dibuatkan sepoci teh, enak rasanya agak manis walau tanpa gula. 

Breakfast
Selesai sarapan, kami menyewa motor untuk hari ini dari hostel. Ongkos sewa seharga VND 130.000 untuk sehari sudah termasuk bensin. Lalu saya cek bensin masih ada sekitar 80% di tangki. Kali ini kami tidak berhasil menawar harga sewa, karena sudah termasuk bensin, oklah. 

Tujuan pertama hari ini ke Marbel Mountain, sekitar 8,5 Km dari hostel. Marbel mountain adalah kelompok lima bukit, terbuat dari batu kapur dan marmer yang diberi nama sesuai unsur alam: Kim Son (Mountain of Metal), Moc Son (Mountain of Wood), Thuy Son (Mountain of Water), Hoa Son (Mountain of Fire), and Tho Son (Mountain of Earth). Lokasinya di dekat laut, gua dan pagoda yang berasal dari awal abad ketujuh belas.

Thuy Son (Mountain of Water) merupakan gunung terbesar, terlengkap dan yang paling banyak dikunjungi. Di atasnya terdapat goa-goa dan kuil budha, serta pemandangan Da Nang yang menakjubkan bisa kita lihat dari ketinggian.

Mengikuti petunjuk dari google map, sampailah kami di Water Mountain. Tak jauh dari tempat parkir, kita akan langsung melihat sebuah gua dengan patung penjaga di kiri kanan. Kamipun naik untuk melihat-lihat tapi karena ada tulisan untuk tidak masuk, jadi hanya memotret dari mulut gua saja. 

a cave near entrance
Lalu saya mencari akses masuk. Tersedia 2 akses masuk, kami memilih gate no.2 di mana tersedia lift jika tidak bisa atau tidak mau mendaki dengan berjalan kaki. Tak jauh dari lift, ada loket yang menjual tiket naik lift VND 15.0000 dan tiket masuk VND 40.000. Waktu saya mau beli tiket masuk saja tanpa naik lift, saya disuruh untuk membeli di loket lain dekat tangga naik.

Saya memilih jalan kaki, karena akan melihat lebih banyak dibanding jika naik lift, walau lebih capai mendaki. Tak apa juga naik lift jika memang tidak mampu. Tiket akan disobek oleh petugas sebelum kita diperbolehkan masuk. Selanjutnya mari ikuti penjelajahan saya di Gunung Air ini.

Water Mountain Lift

Gate 2 stairs

Water Mountain entrance ticket
Water Mountain Map

Di puncak tangga, kita langsung disambut dengan liukan 8 naga di bawah pohon rindang bersama dengan  murid-murid Budha. Lalu di sisi kanan terlihat patung Budha besar menempel di tebing di depan kolam hijau dan gerbang masuk menuju Ngu Hanh Son Temple. Jika naik dengan lift kemungkinan akan melewatkan spot ini. 

Dragons under big tree

Buddha Statue

Entrance Gate to Ngu Hanh Son Temple

Ngu Hanh Son Temple
Ngu Hanh Son Temple

Lady Buddha Pagoda at Water Mountain

Dari Ngu Hanh Son Temple kita sedikit medaki lagi akan menemukan Pagoda Xa Loi, yaitu pagoda 7 tingkat dengan taman yang terawat. Kompleks ini dibangun pada tahun 1956 dan sebelumnya berfungsi sebagai markas besar Buddhisme di Vietnam Selatan. Tak jauh dari pagoda inilah lift untuk naik turun. Dari sini pemandangan ke laut, bukit lainnya dan desa seni pahat marmer bisa dinikmati dari ketinggian. Namun masih akan ada tempat yang lebih tinggi lagi di penjelajahan selanjutnya.  

Temple, monks & statues

Xa Loi Pagoda

Xa Loi Pagoda View
Selain wisatawan dari berbagai negara, kami juga bertemu para peziarah dan biksu-biksu yang tinggal di gunung ini. Gua-gua pemujaan, kuil-kuil juga pagoda dengan ornamen yang rumit dan cantik, tiang-tiang, tembok berukir, tak ada spot tanpa pahatan. Saya menemukan 1 pagoda kecil bukan dihiasi pahatan tapi lukisan, walau sudah pudar tapi masih cantik.

Nice carving
Old painting on the wall
Mengikuti jalur sesuai petunjuk, kita akan menemukan beberapa gua, lalu ada tangga naik yang disebut Heaven Gate. Sayapun mendaki dan menemukan pemandangan spektakuler, walau untuk mencapai puncak perlu hati-hati melewati batu-batu terjal. 

Van Thong Cave

Heaven Gate
Setelah turun dari Heaven Gate, kita akan menemukan Huyen Kong Cave, gua yang luas, dalam dan tinggi. Ada beberapa lubang di atas gua, kalau sinar matahari masuk, pasti bagus sekali, hanya saja cuaca sedang mendung. Patung Lady Buddha besar menyambut di mulut gua, masuk ke gua akan ada beberapa tangga turun. Tinggi di atas dinding gua, bertengger patung Buddha yang cukup besar. Beberapa tempat sembahyang juga bisa ditemukan di dalamnya.   

Huyen Kong Cave entrance

Inside Huyen Kong Cave

Inside Huyen Kong Cave
Bahkan di atas gunungpun kita bisa menemukan penjual makanan, minuman juga suvenir. Jika capai, kita bisa duduk-duduk sambil memesan kelapa muda atau lainnya. Kita juga bisa menemukan toilet gratis tak jauh dari sini.

Menuju gate 1, kita masih akan menemukan Tam Thai Pagoda, Ton Tam Pagoda, Tu Tam Pagoda dan menara pandang. Para biksu juga menanam sayuran di sekitar pagoda. Saya juga melewati 2 biksu sedang santai minum teh. Tanaman, bunga-bungapun terawat rapi. Selama menjelajah gunung, kita akan mendengar alunan berbagai musik instrumental dari speaker yang disamarkan bentuknya tersebar di berbagai tempat. Saya mengenali beberapa lagu yang diputar, mulai dari alunan piano Richard Clayderman sampai sountrack dari drama Korea ;D.  

Tam Thai Pagoda

Column with dragon carvings

View from tower
Saya keluar dari Gate 1, lalu berjalan menuju tempat parkir, melewati toko-toko yang menjual pahatan batu dari kecil sampai hampir setinggi rumah dengan berbagai bentuk mulai Budha, Lady Budha, Singa, Naga, dan lainnya. Saya menemukan 1 pahatan yang menarik di atas batu yang tak beraturan.

unique sculptures
Tak terasa lebih dari 2 jam kami di sini. Saat melanjutkan perjalanan, di tepi jalan saya melihat pagoda di tengah rimbun pepohonan dari kejauhan, entah apa namanya. Saya berhenti sebentar untuk memotret.

Pagoda
Tujuan selanjutnya ke My Khe Beach sekitar 6 Km dari Marble Mountain. Kami parkir di tepi jalan mengikuti deretan motor yang sudah parkir sebelumnya. Pantai My Khe berada di tepi jalan raya dengan deretan hotel mewah seperti Raffles dan Hyatt. Bahkan Holiday Beach Hotel, membuat akses khusus di bawah jalan raya menuju ke pantai. 

Kita juga bisa menemukan public gym di pedestrian pantai My Khe. Konon dahulu di pantai inilah tentara Amerika menikmati istirahat dan liburan saat perang Vietnam. Pantainya terjaga bersih. Saat itu cuaca mendung, angin kencang dan arus laut cukup deras. Tersedia fasilitas toilet dan tempat bilas setelah bermain di laut. Tak ketinggalan cafe dan restoran mudah ditemukan di sini. 

Public gymn at My Khe Beach

My Khe Beach
Dari pantai My Khe, lanjut menuju Lady Buddha Da Nang yang berada di semenanjung Son Tra. Patung di puncak bukit ini sudah terlihat dari pantai My Khe, walau jaraknya masih sekitar 10 Km. Linh Ung Son Tra Pagoda merupakan patung Budha tertinggi di Vietnam dengan tinggi 67m, diameter teratai 35m, setara dengan bangunan 30 lantai. 

Mendekati bukit lokasi patung, saya membelokkan motor di tepi jalan, yang ternyata menurun. Terjadilah kecelakaan, motor jatuh, saya terlempar beberapa meter dengan 1 tangan menopang dan pantat terbentur aspal, sedangkan teman saya yang membonceng kaki kanannya terkena knalpot panas. Waduh maaf yaaa....namanya juga kecelakaan, gak sengaja. Saya menunggu teman saya pulih, karena saya tidak kuat mengangkat motor sendirian di jalan. Karena kejadian ini, kami tidak jadi melanjutkan perjalanan sampai puncak, hanya memotret dari kejauhan saja. 

Linh Ung Son Tra Pagoda

Son Tra Peninsula

Sudah lewat tengah hari dan kami belum makan siang. Rencana awalnya, dari sini akan melihat-lihat di Han Market, baru ke Lotte Mart untuk beli kopi sebelum pulang ke hostel. Besok kami sudah pulang ke Jakarta. Tapi karena kecelakaan tadi, maka saya batalkan rencana ke Han Market dan langsung menuju Lotte Mart, untuk sekalian makan siang dan cari obat, kaki teman saya sudah mulai melepuh. Selain itu saya juga khawatir kehabisan bensin, masih sekitar 15,7 Km menuju Lotte Mart. Dari Lotte Mart ke hostel sekitar 2,7 Km. 

Kami makan siang di Lotte Mart, di food court saya memesan Mì Quảng yaitu mie khas dari provinsi Quảng Nam di Vietnam tengah dengan mie lebar, udang yang dimasak kuning, sayuran, telur rebus, taburan kacang, irisan jeruk lalu disiram sedikit kuah. Ada beberapa potongan daging saya temukan, karena tidak tahu daging apa, maka saya singkirkan. Semangkuk Mì Quảng VND 25.000.

Mì Quảng
Setelah makan saya keliling mencari kopi untuk dibawa pulang. Vietnam terkenal dengan kopinya, dan saya peminum kopi. Setiap traveling, saya usahakan mencari kopi lokal, entah di dalam maupun di luar negeri. 

Vietnam Coffee

Sebenarnya saya tertarik untuk membeli kecap dan sambel Vietnam, yang biasa digunakan untuk membumbui Bahn Mie (sandwich Vietnam), tapi mengingat saya tidak membeli bagasi (kami naik Air Asia) dan tidak ada kemasan di bawah 100 ml, jadi saya taruh lagi di rak. Rasanya memang beda dengan kecap maupun sambel Indonesia. 

Selesai urusan belanja, kami kembali ke hostel, istirahat, mandi dan packing. Sebenarnya saya masih ingin memotret Dragon Bridge waktu malam, tapi ternyata teman saya sudah tidur nyenyak, cuaca dingin juga membuat saya malas keluar lagi. 

Airport Da Nang berada di tengah kota, jadi aksesnya mudah. Kami memesan Grab, kali ini lebih murah dari Uber, VND 39.000 ditambah dengan tiket masuk bandara VND 10.000. Grab salah menurunkan kami di terminal domestik, untung masih cukup waktu. Terminal Internasional berada di gedung sebelahnya. Kamipun harus jalan kaki dan naik ke lantai 2 menuju terminal keberangkatan internasional. 

Saya tidak melihat satupun Money Changer di sini, padahal ingin menukarkan sisa uang VND. Setelah beres urusan imigrasi, kami melihat-lihat toko dan cafe untuk menghabiskan Dong sebelum menuju loby tunggu.  

Kami pulang naik Air Asia menuju Jakarta, dengan transit di Kuala Lumpur. Pesawat dari Kuala Lumpur menuju Jakarta terlambat 1 jam lebih dan sampai Jakarta sudah malam. Berakhirlah trip Vietnam Tengah di penghujung tahun 2017.