2016/08/24

Menginap di Pulau Ternate, desa tenun di Alor

Melanjutkan tulisan trip ke Alor sebelumnya, salah satu destinasi yg kami kunjungi adalah pulau Ternate yg merupakan desa tenun ikat. Hampir semua penduduk wanita dan anak-anak bisa menenun. 

Kedatangan rombongan kami dalam rangka Festival Adventure Indonesia, disambut oleh seluruh warga desa di pantai, begitupun anak-anak sekolah dengan seragam kain tenunnya. Lalu disajikan tarian lego-lego, mengelilingi pohon besar yang ada di desa.

Selamat datang di Desa Ternate


Pantai Pulau Ternate

Anak-anak Pulau Ternate
Menari Lego-Lego

Menari Lego-Lego
Pak Mustafa, Ketua Adat
Malam ini kami menginap di rumah penduduk, jadi selesai acara penyambutan, kami dibagi-bagi ke rumah-rumah. Pulau ini sulit air, hanya ada 2 sumur umum untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk pulau. Listrikpun hanya menyala dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi saja. Kamipun mengusahakan memakai air sesedikit mungkin, karena mereka harus mengambil air dari sumur umum tersebut dengan jerigen atau ember.
Sebenarnya ada listrik tenaga surya, namun entah ada alat yg rusak tapi tidak diganti.

Sebenarnya tidur di rumah penduduk tidak terlalu masalah, hanya hawa panas & banyaknya nyamuk membuat tidak bisa tidur nyenyak.

Makan malam disediakan di balai desa, dengan menu sehat singkong, ubi, pisang rebus, sayur dan ikan. Selesai makan, kami jalan-jalan keliling kampung. Hanya sedikit rumah saja yg memiliki televisi dan genset, warga ikut numpang nonton rame-rame.

Pulau ini merupakan sentra tenun ikat, hampir setiap rumah ibu-ibu dan anak-anak menenun. Jika pagi hari lampu mati, mereka menenun di luar. Merekapun menjajakan kainnya di lapangan, sehingga rombongan kami sibuk berbelanja memilih kain untuk dibawa pulang.

Menenun di depan rumah

Belajar menenun sejak kecil

Bahan pewarna alam

Kain siap dijual

Sesuai adat setempat, pemilik rumah memberikan selendang tenun kepada tamu yang mmenginap. Kamipun mendapatkannya dari tuan rumah sebelum kami pulang. Motif tenun di sini cukup sederhana, kebanyakan berbentuk ikan, teripang, kupu-kupu, gajah, yg paling rumit gambar naga, tentunya harga lebih mahal. Terkadang menggunakan pewarna buatan pabrik dicampur warna alam. 

Transportasi dari pulau Alor ke pulau Ternate, bisa menggunakan kapal dari pantai Hula. Penduduk menggunakan kapal untuk ke pasar di pulau lainnya.

Tak jauh dari pantai Hula, ada rumah mama Sariat, penemu lebih dari 100 pewarna alam. Beliau menanam kapas dan beberapa tumbuhan untuk pewarna di halaman rumah yang cukup luas. Kami berkesempatan mampir ke sini sebelum pulang ke Jakarta. Beberapa lemari kain tenun juga dijual di sini, hasil tenunan memang lebih rapi dibandingkan dengan yang ada di pulau Ternate, harganyapun lebih mahal.

 
Mama Sariat memetik kapas di kebun
Memintal kapas
Beberapa bahan pewarna alam temuan Mama Sariat

Ibu tua menenun

Dari kecil sudah menyirih



2016/04/20

Bertandang ke Desa Adat Kabola

Satu lagi perkampungan tradisional yang kami kunjungi dalam rangkaian Festival Adventure Indonesia, September 2015 yaitu perkampungan tradional Monbang, tempat suku Kabola yang berada di Desa Kopidil Kecamatan Alor Barat Laut. Jarak dari Kalabahi sekitar 7 km, dapat ditempuh dengan kendaraan dalam waktu 45 menit.

Yang unik dari suku Kabola, mereka menggunakan pakaian dari kulit kayu Ka. Nanti kami akan didemonstrasikan bagaimana mengelupas kulit kayu supaya utuh dan dapat digunakan sebagai bahan pakaian.

Kami disambut dengan tari Cakalele dan lego-lego. Nantinya setiap kunjungan kami selalu disambut dengan Lego-lego ini. Desa ini juga penghasil kopi yang cukup enak.

Tarian selamat datang

Pemusik gendang & gong bersiap di tengah lapangan
Kepala suku ditandu memasuki arena
Tari Lego-lego suku Kabola berpakaian kulit kayu

Kami disuguhkan makan siang, kali ini tersedia jagung titis yang merupakan makanan pokok orang Alor, jagungnya berwarna putih, sayur nangka, ubi rebus, sayur pepaya, lalu ada emping jagung tapi rasanya mirip dengan emping mlinjo. Walau sederhana tapi kami antusias mencobanya. Begini kira-kira makanannya.

Makan siang di Kabola

Rumah Suku Kabola
Mengelupas kayu Ka
Terkelupas sudah
Selesai makan, salah seorang warga mendemonstrasikan cara mengelupas kulit kayu Ka yang digunakan sebagai bahan pakaian. Kayu dipukul-pukul sampai lepas. Warna kulit kayu yang putih kecoklatan, membuatnya terlihat unik. Memerlukan kayu yang besar sebagai bahan pakaian utuh. Pakaian untuk wanita, berupa gaun tanpa lengan, sedangkan pria, bertelanjang dada di bagian atas. 

Selain menjual kerajinan dari kulit kayu seperti tas, kain tenun juga kopinya. Kami tidak lama di sini, perjalanan dilanjutkan ke desa nelayan Maimol, tempat kami bermalam di rumah penduduk untuk malam ini.

Menginap di Desa Adat Takpala - Alor

Telah lama saya tidak posting di blog ini. Beberapa trip terlewatkan, belum sempat di-posting. Kali ini saya ingin menulis trip ke Alor, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Alor, sudah menjadi destinasi impian saya sejak lama, September 2015 saya berkesempatan mengikuti Festival Adventure Indonesia di Alor. 

Alor bisa dicapai dengan pesawat via Kupang, rute saya Jakarta - Kupang - Kalabahi yang berupakan ibukota Alor. Alternatif lain menggunakan kapal. 

Kabupaten Alor merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 20 pulau. 9 pulau yang telah dihuni penduduk, yakni : Pulau Alor, Pulau Pantar, Pulau Pura, Pulau Tereweng, Pulau Ternate, Kepa, Pulau Buaya, Pulau Kangge dan Pulau Kura. 11 pulau lainnya masih kosong.

Kami rombongan festival, menginap semalam di desa adat Takpala, tempat sukui Abui. Lokasinya sekitar 30 kilometer dari Kalabahi, di Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, berada diatas gunung yang berhadapan langsung dengan keindahan Teluk Takpala. 

Kami naik truk satpol PP yang disediakan panitia. Cara lain ke desa ini:

  • Menggunakan ojek dari Bandar Udara Mali,Alor atau 
  • Naik bus jurusan Bukapiting dari terminal Kalabahi sekitar 20 menit, turun di Takalelang, lalu berjalan menuju kampung adat ini sekitar 15 menit. 
Kampung Tradisional Takpala

Sambutan suku Abui di desa Takpala, Alor


Memasuki desa, kami disambut dengan tari lego-lego, khas Alor. Warga desa menari sambil memeluk pinggang atau bahu orang di kiri & kanannya, berputar mengelilingi moko-moko yang berada di tengah lapangan, diiringi tetabuhan gong & moko. Moko ini merupakan harta karun bagi suku ini. Lalu dilanjutkan dengan tarian peperangan.


Tari Lego-lego
Takpala warrior

Moko-moko

Moko ini digunakan sebagai mas kawin, juga sebagai alat musik pada setiap upacara adat. Orang Alor percaya bahwa Moko berasal dari tanah dan hanya dimiliki para bangsawan karena nilainya sangat tinggi. Menurut cerita, jika warga suku Abui menikah dengan orang di luar suku maka harus memberi Moko sebagai mas kawin. 

Di Museum 1.000 moko di jl. Diponegoro, Kalabahi tersimpan satu-satunya moko yang paling besar yang disebut moko nekara yang ditemukan Simon J Oil Balol berdasarkan petunjuk mimpi. 23 moko ukuran kecil, alat tenun, kain tenun,  gerabah, alat nelayan tradisional, alat pertanian, meriam portugis, senjata peninggalan Jepang, baju adat, alat berburu tradisional. Museum ini diresmikan pada tanggal 4 Mei 2004.

Selesai upacara penyambutan, kami dipersilakan makan pisang, singkong, ubi rebus, beserta sambel untuk dicocol dan kopi. Meskipun hidangan sederhana, namun rasanya sedap sekali.


Kudapan sore...nikmat....
Takpala memiliki 12 rumah adat yang tak berdinding, mereka menyimpan bahan makanan serta barang berharganya di bawah atap ijuk, sedangkan hewan peliharaan berada di bagian bawah. Untuk tempat tidur, harus naik tangga terlebih dahulu. 

Terdapat pula beberapa kamar mandi & toilet di samping rumah, namun tidak ada listrik di desa ini. Pernah akan dipasang listrik namun tidak berhasil menyala, bahkan gensetpun tidak bisa menyala disini. Jika memerlukan penerangan menggunakan lampu/senter dengan baterai. 

Tidak semua warga tinggal di sini, sebagian tinggal di desa di bawahnya, mereka juga bersekolah. Dan masih banyak yang tersebar di beberapa daerah lainnya. 

Takpala merupakan tujuan wisata Alor yang telah ditata cukup baik. Masuk kawasan Takpala tidak dipungut retribusi sedikit pun. 


Rumah suku Abui di Takpala


2 rumah keramat
Ada 2 rumah keramat yang berdinding yang disebut Kolwat dan kanuarwat. Hanya orang tertentu saja yang boleh memasukinya dan pada saat-saat tertentu, misalnya akan mulai musim tanam, membuka ladang dan sebagainya.


beginilah kami tidur di rumah adat

Udara cukup dingin, dan banyak angin, kami tidur dengan diiringi nyanyian warga desa menumbuk padi sampai tengah malam.

Pagi hari kami terbangun dengan bunyi burung2 bernyanyi dan warga desa sibuk memasak untuk makan pagi kami. Memasak dengan cara tradisional, menggunakan kayu dan hanya merebus atau bakar, tidak ada gorengan.


Memasak dengan kayu
Membantu Ibu

Setelah sarapan, mereka buka lapak, menjual kain hasil tenunan sendiri dan beberapa kerajinan. Mereka juga menyewakan bagi yg ingin foto menggunakan baju adat mereka.

Pasar dadakan


Perempuan suku Abui, kecuali yg di tenggah ;)
Wanita tertua suku Abui
Selesai makan pagi, berbelanja, foto-foto dan berberes, kami menuju ke destinasi selanjutnya yaitu desa adat suku kayu Kabola.