Trip kali ini gak jauh-jauh dari Jakarta, Tangerang di kota sebelah tapi sudah beda Provinsi. Saya bergabung dengan trip yang diadakan seorang teman, kali ini jadi peserta, tinggal bayar dan ngikut. Peserta trip kali ini 30an orang, cukup banyak, beberapa sudah saya kenal dari day trip sebelumnya (belum sempat ditulis ;p), jadi nambah teman-teman baru.
Meeting point di stasiun KA Tangerang jam 8 pagi. Grup WA dibuat, memudahkan komunikasi sehingga peserta walau ada yg belum kenal, bisa janjian jalan bareng. Jadilah beberapa kelompok grup stasiun Tebet, stasiun Kemayoran, Depok atau langsung. Saya gabung dengan grup stasiun Tebet.
Dari Stasiun Tebet, naik KA jurusan Bogor - Jatinegara turun di Stasiun Duri, lalu ganti kereta Duri - Tangerang, ongkosnya hanya rp.4 ribu saja.
Dengan menggunakan angkot, rombongan kami menuju ke
Warung Encim Sukaria yang menyajikan pilihan sarapan nasi uduk, nasi ulam dan lontong sayur. Warung ini buka tiap hari kecuali hari Senin dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang saja.
Selesai sarapan, dengan angkot yang sama kami menuju
Kampung Berkelir Tangerang. Berlokasi tak jauh dari Sungai Cisadane, RW 01, Kelurahan Babakan dengan pintu masuk dari jalan Perintis Kemerdekaan, Tangerang. Bertransformasi dari kampung berstatus kumuh sedang berubah menjadi kampung wisata warna-warni pernuh dengan mural.
Sebelum keliling ke Kampung Berkeling, kami foto-foto dulu di ikon Kampung Berkelir yang di bawahnya ada lukisan 3 dimensi di tepi sungai Cisadane.
|
Ikon Kampung Berkelir |
|
Mural 3D |
|
Mural 3D |
Mural atau grafiti Kampung Berkelir bertemakan kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya masyarakat di Kota Tangerang, seperti misalnya lenggang Cisadane bahkan ada naga dan barongsay. Selain mural, juga terpasang 10 pesan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) sebagai pengingat untuk masyarakat setempat. Pohon dan bunga ditanam menghiasi sepanjang jalan kampung, baik di pot maupun di gantung. Mengunjungi kampung ini tidak dipungut biaya.
|
Memasuki Kampung Berkelir |
|
Lenggang Cisadane |
|
Wajah-wajah di Kampung Berkelir |
|
Barongsay & Naga |
|
Stasiun KA & Bandarapun eksis |
|
10 pesan PHBS |
Dari Kampung Berkelir, lanjut dengan angkot menuju Museum Benteng Heritage, hanya sekitar 1 KM saja. Kami turun di tepi sungai Cisadane di depan gang kecil, melewati Roeboer Tangga Ronggeng yang nantinya akan kami kunjungi juga, lanjut berjalan kaki karena lokasi Museum berada di tengah Pasar Lama Tangerang.
Museum Benteng Heritage
Museum Benteng Heritage adalah museum peranakan Tionghoa pertama dan satu-satunya di Indonesia, diresmikan pada tgl. 11-11-2011 pkl. 20:11. Museum terletak di Jalan Cilame No.20, Pasar Lama, Tangerang yang juga adalah Zero Point nya Kota Tangerang karena disinilah cikal bakal pusat Kota Tangerang, yang dulunya disebut kota Benteng.
Bangunan museum dibangun sekitar abad ke 17, dimiliki komunitas kaum Tionghoa. Di abad ke-19 bangunan ini dibeli keluarga marga Lua dan dibagi 3 untuk diwariskan kepada 3 anaknya kala itu. Bp Udaya Halim yang merupakan pendiri Museum Benteng Heritage melakukan restorasi untuk melestarikan bangunan yang kaya akan sejarah ini dengan membeli 2 rumah dari 3 rumah tersebut karena 1 rumah lagi tidak dijual oleh pemiliknya.
Koleksi di Museum Benteng Heritage berasal dari koleksi pribadi, sumbangan dari warga sekitar Tangerang, kolektor benda kuno dan pemerhati budaya Tionghoa peranakan di Indonesia. Berbagai artefak yang menjadi saksi bisu kehidupan masa lalu, mulai dari kedatangan armada Cheng Ho dengan rombongan yang terdiri dari sekitar 300 kapal kayu besar dan kecil yang membawa hampir 30.000 pengikutnya. Sebagian dari rombongan tersebut dipimpin oleh Chen Ci Lung, diyakini sebagai nenek moyang penduduk Tionghoa Tangerang (Cina Benteng) yang mendarat di Teluk Naga pada tahun 1407.
Jam operasional Museum dari hari Selasa - Minggu mulai jam 10.00 - 17.00 dengan dipandu oleh guide yang berlangsung sekitar 45 menit dengan jumlah setiap rombongan dibatasi s/d 20 peserta. Rombongan kami mengambil paket termasuk makan siang. Kami beruntung hari itu dipandu oleh Bp Udaya sendiri. Sejarah Peranakan Tionghoa Tangerang (Cina Benteng) dan Museum diceritakannya sebelum makan siang disajikan. Setelah makan siang baru diantar keliling Museum yang ada di lantai 2. Ada 2 tangga menuju ke lantai 2, yang curam dengan kemiringan 45 derajat & satu lagi landai, kita harus melepas alas kaki, meninggalkan tas di lantai bawah dan tidak boleh memotret.
|
Tata Tertib Pengunjung |
|
Ruang Tunggu Museum |
|
Loket |
Sungai Cisadane dahulu berperan besar dalam transportasi air dan perdagangan di Tangerang. Hal ini tergambar pada salah satu lukisan yang ada di Museum.
|
Transportasi Sungai Cisadane Tempo Dulu |
|
Bendungan Pintu Air Sepuluh Tempo Dulu |
|
Ruang Makan Museum |
|
Ornamen Ruang Makan |
|
Ornamen Ruang Makan |
|
Menu Makan Siang |
Selesai makan siang, kami dipersilahkan naik ke lantai 2. Antara lantai 1 dan tantai 2 tidak sepenuhnya tertutup, kita bisa menemukan relief ukiran dihiasi pecahan keramik yang mengisahkan tentang Jenderal Kwang Kong bagian dari cerita legenda Sam Kok.
|
Relief legenda Sam Kok (sumber BBC Indonesia) |
Tur di lantai 2 dimulai dengan pemutaran video sejarah pembuatan kecap Benteng yang masih tradisional dan terkenal di Tangerang sampai sekarang. Kecap ini juga dijual di toko Museum. Contoh botol-botol kecap dapat kita lihat di salah satu sudut lantai 2.
|
Koleksi Botol Kecap Benteng |
Terdapat koleksi sempoa/sipoa, alat kuno untuk berhitung yang dibuat dari rangka kayu dengan sederetan poros berisi manik-manik yang bisa digeser-geserkan dengan fungsi penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian dan akar kuadrat dari ukuran kecil sampai panjang.
Koleksi pedupaan dan perlengkapannya, patung-patung dewa, telepon, timbangan, mesin tik dan surat, buku-buku cerita, prangko-prangko pertama yang digunakan di Indonesia.
Di salah satu meja dipajang berbagai timbangan candu dan alat hisapnya dari berbagai negara.
|
Timbangan Candu (sumber BBC Indonesia) |
Kami diberi tantangan untuk membuka pintu kayu menuju balkon, pintu anti pencuri walau tanpa kunci seperti jaman sekarang. Cara menutupnya hanya dengan menggeser kayu-kayu yang melintang, sangat mudah. Tapi membukanya tidak semudah itu, jika tidak mengetahui rahasia teknik pengunciannya yang hanya diketahui oleh anggota keluarga saja. Untuk membukanya harus dari dalam, sehingga rumah tidak boleh ditinggal kosong.
Setelah beberapa orang mencoba tanpa hasil, lalu dijelaskan cara membukanya oleh pak Udaya. Terdapat tombol rahasia yang terselip dekat palang pintu bagian bawah. Dengan menekan tombol tersebut maka akan membuka kuncian yang ada di dalam kayu penahan, lakukan sambil mendorong palang kayu, maka penghalang pintu dapat dibuka.
Pintu juga diberi pembatas setinggi kira-kira 20 cm dari lantai. Fungsi pembatas ini selain untuk membantu menjaga keseimbangan jalan perempuan yang biasanya memakai gaun panjang agar tidak jatuh tersandung sehingga mereka akan mengangkat sedikit bagian bawah baju juga untuk memberi hormat ke patung dewa dan meja pedupaan yang ada di depan pintu masuk. Sedangkan pada saat ke luar, dimaksudkan agar orang bersikap awas terhadap sekelilingnya sebelum ke luar.
|
Berfoto dengan pak Udaya di Lantai 2 |
Berpindah ke ruangan sebelahnya, kita bisa melihat koleksi sepatu perempuan dari anak-anak sampai dewasa, terkait dengan budaya ikat kaki. Jaman dahulu makin kecil kaki seorang perempuan dianggap makin cantik, tapi budaya ini dihapuskan karena dianggap sebagai salah satu bentuk penyiksaan.
|
Koleksi Sepatu Tradisional (sumber BBC Indonesia) |
Dapat dilihat juga contoh corak-corak batik pesisir yang juga dipengaruhi budaya Tionghoa. Di Lasem dikenal dengan corak batik 3 negri, yaitu Eropa diwakili warna biru, China diwakili warna merah dan Coklat (sogan) warna khas batik jawa Solo dan Jogja.
Koleksi lainnya berupa koin, cangkul, topi tani, pakaian adat, ranjang, bantal, kloset, koper, meja mahyong yang jika ditarik sudut-sudutnya tersedia tempat menaruh makanan dan minuman sehingga mereka tidak perlu meninggalkan permainan ;p
Kami juga diputarkan video prosesi adat pernikahan Tionghoa Peranakan yang berlangsung selama 3 hari yang kebetulan diselenggarakan di Museum.
Selanjutnya kami diajak ke galeri koleksi kamera dan gramafon tua, serta piringan hitam langka. Menurut penjelasan pak Udaya, kerasnya suara yang dihasilkan gramofon tergantung dari besarnya jarum pemutar. Kami diperdengarkan lagu anak-anak Naik Delman karya pak Kasur. Dari ruang ini, kami menuruni tangga menuju toko Museum. Tersedia dari mulai kaos, kecap Benteng, teh, dodol, pembatas buku dan lainnya.
Setelah menyelesaikan pembayaran pembelian dari toko, kami dipinjami topi anyam dari bambu/pandan khas Tangerang yang dahulu sangat hits dan mendunia. Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Pos Jalan Daendels mencatat tentang produk topi Tangerang ini sangat digemari di Eropa untuk semua kalangan. Bahkan menjadi tren mode di Paris, Perancis! Jutaan topi Tangerang diekspor ke Eropa setiap tahun pada masa jayanya! Pada tahun 1887 saja, Tangerang telah mengekspor topi 145 juta, terutama ke Perancis.
Catatan serupa juga ditulis oleh wartawan Tionghoa Peranakan Oey Hok Tjay yang asli Tangerang. Menurutnya, topi buatan Tangerang ini dikerjakan para wanita yang sangat digemari di Asia Tenggara hingga Eropa. Sayangnya topi ini sudah tergusur dan sulit diperoleh, sehingga Museum terpaksa memesannya dari Jogja.
|
Pengrajin Topi Tangerang (Sumber Kompas) |
Dengan memakai topi Tangerang itu, kami mengikuti Heritage Walk, dimulai dari
Kelenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama, merupakan kelenteng tertua di Tangerang yang diperkirakan sudah berumur 300 tahun.
|
Di halaman Kelenteng Boen Tek Bio |
|
Kelenteng Boen Tek Bio |
|
Kelenteng Boen Tek Bio |
Dari klenteng perjalanan berlanjut, kami melewati bekas rumah wartawan. Pada 2 pilar penyangga masih bisa terlihat ornamen cantiknya walau sudah pudar.
|
Bekas Rumah Jurnalis |
Rumah warna hijau milik
Oey Kim Tiang (OKT), penerjemah/penulis cerita silat yang paling produktif di Indonesia, berada berseberangan dengan Roemboer Tangga Ronggeng. OKT lahir 1903 dalam keluarga peranakan Tionghoa yang telah 6 generasi tinggal di Tangerang dan meninggal tahun 1995. Selama hidupnya, almarhum telah menterjemahkan lebih dari 100 karya terjemahan dari dialek Hokkian ke dalam bahasa Melayoe Pasar atau Melayoe Rendah. Salah satu karyanya adalah Memanah Burung Rajawali yang juga dibuat film seri TV maupun versi bioskopnya.
|
Rumah OKT |
Roemah Boeroeng Tangga Ronggeng
Menurut pemandu kami, rumah ini bekas milik penjahit kebaya encim, pernah juga menjadi sarang burung walet sehingga disebut Rumah Burung. Kenapa Tangga Ronggeng? Jaman dahulu di sungai Cisadane terdapat tangga turun tempat mandi para penari ronggeng yang bisa dilihat dari lantai 3 bangunan yang saat ini difungsikan sebagai restoran tapi harus dengan pemesanan sebelumnya.
|
Pintu Roemboer Tangga Ronggeng |
Pada lantai 1, terdapat perabot tua dan foto-foto hitam putih Peranakan Tangerang Tempo Doeloe.
|
Roemboer Lantai 1 |
Lantai 2 Roemboer berisi koleksi yang berhubungan dengan film, televisi dan beberapa lukisan yang menggambarkan kehidupan masyarakat Tangerang tempo dulu.
|
Koleksi Roemboer Lantai 2 |
Menaiki lantai 3, kita memasuki area restoran, dengan balkon dan jendela yang mengarah ke sungai Cisadane.
|
Roemboer lantai 3 |
Dari Roemboer, kami dibawa menyusuri sungai Cisadane menuju dermaga tempat bermulanya Festival Perahu Naga atau Festival Peh Cun (berarti mendayung perahu). Festival ini dirayakan setiap tahunnya pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek dan telah berumur lebih 2300 tahun dihitung dari masa Dinasti Zhou. Makan bakcang adalah salah satu bentuk kegiatan dalam perayaan tersebut.
Dermaga ini dahulunya terkenal dengan sebutan Tangga Jamban, tempat di mana masyarakat Tangerang buang hajat di kali. Lalu berubah menjadi dermaga, dilengkapi dengan Toa pe kong Dewa Air.
|
Dermaga Tangga Jamban |
Di seberang Dermaga terdapat Masjid Jami Kalipasir dari tahun 1700an. Menara masjid ini berbentuk Pagoda, bukti adanya pengaruh budaya China di masa lalu.
|
Menara Masjid Kalipasir |
Melalui gang kecil di samping masjid, kami kembali menuju Museum. Sebelum pulang menyempatkan belanja otak-otak, asinan buah, dodol di Pasar Lama dan ngopi di Rumah Kopi Gouw yang menyediakan berbagai kopi dari Aceh sampai Papua.
Dari Museum Benteng Heritage kami berjalan kaki menuju Stasiun KA Tangerang, ternyata tidak jauh hanya sekitar 10-15 menit jalan kaki saja, tinggal lurus lalu belok kanan.... sampai deh....