Baru sekitar jam 4 pagi, kami diberitahu sudah sampai tujuan. Hari masih gelap, mata masih ngantuk. Kami diberi sikat gigi dan tisue basah. Ternyata Nyaung Shwe bukan tujuan akhir dari bus kami, melainkan Taunggyi. Kami diturunkan di junction Shwe Nyaung, baru dikemudian hari kami tahu kalau jaraknya sekitar 11 km dari junction ke Nyaung Shwe.
Hanya 1 rombongan lain selain kami yang turun. Seperti biasa kami dikerumuni penjaja jasa. Mereka menawarkan 1.000K/orang untuk sampai Nyaung Shwe terminal. Karena kami kira hanya dekat, maka kami memutuskan untuk jalan kaki saja. Hari masih gelap dan dingin, bintang masih nampak. Tidak ada lampu jalanan, yang ada hanya lampu dari beberapa warung di jalan yang tutup.
Kami jalan santai saja, sambil menunggu hari terang. Begitu terang, terlihat sawah-sawah dan ibu-ibu petani naik traktor, anak-anak berangkat ke sekolah. Sepertinya orang Inle memulai harinya pagi-pagi.
Tak lama kemudian kami melihat ada warung yang sedang membuat cakwe, dapurnya terbuka, terlihat dari luar. Kami mampir dulu untuk sarapan dan istirahat. Ini cakwe yang paling enak dan paling murah selama kami berada di Myanmar, hanya 100K. Yang membuat adonan dan menggoreng laki-laki.
Selesai sarapan, kami jalan lagi, lalu lewat angkot ke Nyaung Shwe, supirnya minta 500K/org. Akhirnya kami naik. Tak lama angkot di hentikan, kami diminta membayar Inle Zone Entrance Fee sebesar $10 atau EUR10. Kami membayar dengan kyat sebesar 10.000, karena uang kyat kami masih cukup.
Kami diturunkan di pemberhentian dekat pasar, belum tahu dimana letak penginapan. Tidak sampai 5 menit jalan kaki, terlihat Teakwood Hotel, bagus sekali. Menurut perkiraan kami pasti mahal, tapi kami coba-coba mampir. Pemilik hotel bilang dia punya kamar $50 atau $60 untuk bertiga, mana yang mau dilihat. Wah tidak masuk dalam budget kami. Lalu si Ibu tanya berapa budget kami.....$30. Kami akhirnya mendapat kamar 30.000 kyat untuk bertiga dengan kamar mandi dalam, sarapan tapi dengan kipas angin bukan AC, tak apa toh Inle udaranya sejuk. Kamarnya bagus dengan bahan dari kayu dan bata merah. Kami sangat beruntung dapat kamar itu. Lokasinyapun strategis, tidak jauh dari dermaga maupun pasar. Ini penginapan paling bagus selama kami di Myanmar.
Mandi, cuci baju lalu tidur dahulu sebelum sewa boat keliling danau Inle. Kami bangun sekitar 11.30, lalu siap-siap ke dermaga danau Inle, hanya 10 menit dari hotel. Cuaca panas sekali. Sampai di dermaga sepi sekali, umumnya orang sewa perahu dari pagi hari.
Tak lama seorang bapak menawarkan sewa perahu, dengan menunjukkan peta danau Inle, kemana saja dia akan membawa kami. Dia minta 15.000K. Setahu saya itu tarif untuk sewa 1 hari dari sunrise sampai sunset. Perahu bisa diisi 5 orang. Kami tawar jadi 12.000K untuk setengah hari dari tengah hari sampai sunset.
Perahu menggunakan mesin, perjalanan tanpa henti selama 1 jam. Di tengah perjalanan kami melihat nelayan tradisional Inle yang menggunakan sampan berdiri diujung satu kaki mengayuh dayung sedangkan tangan menebar jala. Hanya ada di Inle. Sayangnya agak jauh dan perahu kami tidak mengurangi kecepatan, hasil foto tidak terlalu bagus.
Inle Lake Map |
- Silk & lotus weaving
Uniknya benang yang ditenun berasal dari batang lotus yang diambil getah seratnya. Perlu ribuan batang untuk selembar kain. Pewarna yang digunakan berasal dari berbagai kulit kayu. Kami hanya melihat-lihat, hasilnya lumayan bagus tapi harganya cukup mahal.
- Gold & silver smith
Di sini kita dapat melihat proses kerajian perak. Namun designnya mirip dengan design kita tahun 80-an. Jauh lebih bagus kerajinan perak di Kotagede Yogya apalagi Celuk, Bali. Kebetulan teman saya memakai cincin kerajinan Celuk, mereka terkagum-kagum dengan detail polanya.
- Inle traditional handicraft & cheroot
Menarik melihat cara pembuatan rokok tradisional Myanmar, agak berbeda bahannya dibanding dengan rokok kawung kita yang dibungkus dengan kulit jagung. Tidak ada yang istimewa dari kerajian ukir kayu dan topi tradisional. Jika anda tertarik membeli rokoknya, lebih baik beli di warung saja, hanya 700K untuk 50 batang.
- Inle traditional umbrella workshop
Payung tradisional terbuat dari kertas yang diberi aksen bunga dan daun. Payung untuk panas berbeda dengan payung untuk hujan. Payung Tasikmalaya, masih jauh lebih bagus. Disini juga ada beberapa orang suku leher panjang Karen.
- Floating garden
Kami melewati kebun diatas sungai (floating garden). Mereka menaman sayur mayur seperti tomat, labu, timun, dll. Dibuat jalur-jalur rapi dengan jarak yang cukup untuk sampan mereka lewat. Ide yang menarik ya.....bagus juga jika bisa diterapkan di negara kita. Hanya saja mereka belum memanfaatkan enceng gondok seperti di Indo.
- Nga Phe Kyaung monastery (no jumping cat)
Destinasi terakhir sebelum kembali ke Nyaung Shwe adalah Nga Phe Kyaung monastery. Biara ini terbuat dari kayu, berdiri di atas sungai. Dahulu dikenal dengan jumping cat monastery, karena biksunya melatih kucing untuk melompat. Kucing masih banyak berkeliaran di sini namun sudah tidak ada lagi pertunjukannya. Di bagian belakangnya ada tempat berjualan suvenir Inle. anda harus menawar disini. Kami datang sudah hampir waktu tutup jam 5 sore.
Beberapa bagunan rumah, restoran, pagoda terlihat sepanjang perjalanan kami kembali ke dermaga. Cuaca berawan, jadi foto sunset juga tidak akan terlalu bagus.
Kami harus mencari transportasi untuk esok malam. Recana awal ingin ke Golden Rock sebelum ke Yangon. Kami mampir di salah satu travel agen, si ibu sangat membantu memberikan banyak informasi. Pilihannya adalah naik bus ke Bago atau Bus ke Yangon baru ke Golden Rock. Pilihan bus ke Yangon lebih banyak dan lebih bagus. Bago dan Yangon hanya berjarak 1 jam perjalanan. Inle ke Yangon perlu 12 jam dengan bus. Untuk sewa mobil terlalu mahal. Dari Bago harus naik bus menuju Kipun, kota terdekat menuju Golden Rock, lalu harus ganti naik truk untuk naik yang dilanjutkan dengan jalan kaki ke puncak.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, kami memutuskan untuk naik bus JJ Express ke Yangon (23.000K + 1.000K dijemput dari hotel), urusan ke Golden rock akan diputuskan kemudian. Memungkinkan jika ingin turun di Bago dengan bus Yangon, tapi harganya sama. Di jelaskan ada beberapa perusahaan bus ke Yangon yang tidak masuk ke Nyaung Shwe, hanya di junction saja. JJ termasuk yang masuk ke Nyaung Shwe. Ongkos naik angkot dari Nyaung Shwe ke junction 1.000K/orang.
Kami mampir melihat-lihat toko yang menjual suvenir, pakaian dan kain, ternyata kami menemukan batik pekalongan selain produk dari Thailand. Si ibu penjual tidak tahu kalau batik itu dari Indonesia, karena membelinya dari Chiang Mai. Kami makan malam di night market, ingin mencoba makan ikan bakar tapi ternyata sudah kemalaman jadi kehabisan. Kita tinggal memilih ayam, seafood, babi atau sayuran yang sudah ditusuk seperti sate, lalu dibakar dan dimakan dengan saos.
Udara cukup sejuk, kami bisa tidur nyenyak bahkan tanpa kipas angin......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar