Di puncak gunung terdapat danau kawah dengan 3 warna dan ukuran yang berlainan.
Menurut kepercayaan setempat, arwah orang yang meninggal akan tinggal di Kelimutu. Sebelum masuk ke dalam salah satu danau, para arwah menghadap Konde Ratu selaku penjaga pintu masuk di Perekonde. Arwah tersebut masuk ke salah satu danau tergantung dari usia dan perbuatannya. Danau Tiwu Nuamuri Koofai adalah danau untuk arwah orang muda, berwarna biru dengan kedalaman 127 meter. Danau Tiwu Ata Mbupu, untuk arwah orang tua, berwarna coklat dengan kedalaman 67 meter. Danau Ata Polo, untuk arwah orang jahat atau dikutuk, berwarna hitam dengan kedalaman 64 meter.
Warna air danau dapat berubah-ubah, disebabkan oleh minerah yang terkandung di dalamnya. Terdapat tabel perubahan warna danau selama beberapa tahun.
Masyarakat setempat percaya bahwa tempat ini sakral dan keramat. Untuk itu pengunjung harus menghormati dengan tidak merusak dan mengotorinya.
Sunrise @Kelimutu |
Danau Kawah Kelimutu |
Danau Kawah Kelimutu |
Di puncak gunung dibuat tempat untuk menikmati pemandangan berupa tangga-tangga. Di sini kita bisa duduk-duduk sambil menikmati kopi, teh yang dijual oleh bapak-bapak. Puas menikmati sunrise dan pemandangan Kelimutu, jam 7.30 kami turun.
Di tempat parkir kami sarapan dulu sambil melihat-lihat kain Flores yang dijual. Selesai sarapan kami turun jalan kaki ke penginapan sambil menikmati suasana, masih banyak bunyi burung-burung berkicau. Kami melewati air terjun dan berhenti untuk istirahat. Tidak jauh dari situ ada seorang ibu sedang memandikan kuda. Perjalanan memakan waktu sekitar 4 jam tidak termasuk istirahat.
Tenun Flores |
Memandikan kuda |
Kami langsung makan siang di restoran dekat penginapan, lalu kembali ke penginapan untuk packing menuju Maumere, destinasi terakhir trip ini.
Sampai di Maumere sudah sore sekitar jam 4. Kami cari tiket pulang di agen perjalanan ternyata mahal sekali, lalu ke Merpati katanya sudah penuh. Akhirnya diputuskan untuk go show aja lusa nanti, karena kami masih akan menginap di Maumere 2 malam. Pilihan lain naik kapal ke Denpasar atau Surabaya, namun tidak memungkinkan karena kapal sudah berangkat dan baru ada 3 hari lagi. Dengan kapal perlu 48 jam untuk sampai ke Surabaya.
Kami makan malam di restoran Bunaken di pelabuhan, ternyata salah satu teman kami ulang tahun, jadi dia yang traktir. lumayannnn.....;D.
Selesai makan, kami menuju pantai Wodong, kami menginap di salah satu pondok (cottage) dari bambu tanpa listrik, kalau tidak salah namanya wei Terang. Penerangan menggunakan lampu minyak tanah. Pondok bambu ini berbentuk rumah panggung tapi kecil, di dalamnya hanya berisi tempat tidur untuk 2 orang dengan kelambu. Kamar mandi ada di bagian belakang pondok, jadi harus ke luar dahulu.
Penginapan ini dahulu milik orang Belgia dan merupakan cottage pertama di pantai Wodong, tapi kemudian diserahkan ke keluarga istrinya yang merupakan penduduk lokal. Ada sekitar 10 cottage lainya di sekitar pantai Wodong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar